Tangani Cedera Dengan Efektif


OLAH raga baik bagi kebugaran tubuh dan menjauhkan badan dari serangan segala macam penyakit. Akan tetapi, olah raga juga bisa mendatangkan cedera yang membahayakan diri apabila mengabaikan aturan yang berlaku. Di antaranya, melakukan pemanasan yang tidak memenuhi syarat, kelelahan berlebihan pada otot, dan gerakan olah raga yang salah.
Cedera akibat berolah raga kerap terjadi pada atlet. Sekitar 55 persen cedera akibat aktivitas olah raga berupa cedera lutut. Cedera ini termasuk satu dari 40 kasus bedah ortopedi. Terbanyak terjadi pada sendi dan tulang rawan, termasuk sakit dan nyeri yang terkait dengan tempurung lutut. Risiko tinggi terjadi pada pelaku olah raga yang bersifat kontak, seperti sepak bola, basket, hoki, dan yang sejenisnya.
Gejala yang timbul setelah jatuh atau kontak fisik ialah adanya trauma atau rasa sakit pada lutut bagian luar atau dalam yang disertai bengkak. Biasanya gejala-gejala ini baru muncul pada keesokan harinya. Namun, mereka yang cedera tidak perlu menunggu gejala-gejala tersebut muncul.
"Begitu jatuh, langsung periksakan ke dokter supaya hal-hal yang lebih membahayakan bisa dicegah, seperti terjadinya locking pada tulang," kata Prof. Dr. dr. Fachry Ambia Tanjung,Sp.B.OT(K).
Namun yang masih banyak terjadi kini, atlet yang mengalami cedera kebanyakan langsung menemui tukang pijat atau dukun tulang. Dengan harapan begitu diurut, cedera yang mereka alami bisa pulih dengan lebih cepat. Padahal, saat dilakukan pengurutan, yang dipijat adalah otot, bukan bantalan sendi yang mengalami cedera. Oleh karena itu, pengurutan tidak akan efektif.
Cedera pada lutut memang tidak akan berakibat pada kematian. Namun jika dibiarkan, cedera ini dapat berdampak pada menurunnya performa dan prestasi atlet yang bersangkutan. Bahkan, jika cedera yang sama terjadi berulang-ulang tanpa penanganan yang serius, bisa berakibat pada mengecilnya paha.
Di luar negeri, atlet-atlet sepak bola profesional ditangani secara serius kebugaran tubuhnya. Begitu mengalami cedera, langsung dilakukan operasi yang tentunya ditunjang dengan peralatan canggih yang lengkap. Untuk mengobati cedera lutut, biasanya dilakukan operasi menggunakan suatu alat seharga Rp 15 juta yang begitu selesai dipakai, langsung dibuang. Seusai operasi, barulah mereka menjalani pemulihan dengan program penguatan sendi lutut yang membutuhkan waktu sedikitnya 1-2 bulan.
Pelaksanaan operasi vane membutuhkan alat berharga mahal itu menjadi sulit diterapkan di kondisi negara ini. Namun, tidak mungkin pula membiarkan mereka yang mengalami cedera. Atas dasar itulah, Fachry kemudian berupaya menemukan cara yang lebih efektif dalam menangani cedera ini tanpa harus mengeluarkan biaya mahal.
Semuanya dirintis Fachry sejak tahun 1990 seusai menjalani spesialisasi ahli bedah ortopedi di Chinese University of Hongkong. Fachry kemudian menemukan suatu teknik penyembuhan cedera lutut yang hanya mengandalkan dua jarum suntik sebagai guidance benang untuk menjahit meniskus yang rusak. Cara ini kemudian dinamakannya sebagai Teknik Fachry, yaitu cara sederhana untuk memperbaiki meniskus/bantalan sendi lutut yang rusak karena kecelakaan saat berolah raga. Meniskus yang merupakan tulang rawan ini berfungsi sebagai penjaga stabilitas sendi lutut, mendistribusikan cairan sendi, dan juga berperan sebagai distribusi beban agar tidak bertumpu di satu titik.
Teknik ini pertama kali diujicobakannya pada seorang atlet basket yang menemuinya karena keluhan sakit pada lututnya. Setelah diperiksa dengan mempergunakan alat artroskopi, diketahui bahwa meniskusnya yang robek. Ia pun lantas berinisiatif untuk mempraktikkan teknik yang telah ditemukannya pada sang atlet.
Untuk percobaan pertamanya ini, Fachry menggunakan benang berbahan nilon untuk menjahit meniskus yang robek tadi. Namun, setelah operasi selesai dilaksanakan, benang ini ternyata lepas karena licin."Untung sang atlet datang kembali beberapa waktu kemudian karena lutut lainnya juga mengalami cedera," ujar Fachry.
Pada operasi yang kedua ini, Fachry sudah mengganti benang nilon tersebut dengan monofilamen yang rendah risiko infeksinya. Benang nilon yang terlepas pada operasi sebelumnya pun ia lepas dan diganti dengan menggunakan benang jenis yang baru ini.

Minim risiko

Selepas kasus pertama itu, berulang kali Fachry mempraktikkan tekniknya ini pada kasus-kasus cedera lutut lain yang disebabkan robeknya meniskus. Teknik tersebut telah dipraktikkannya pada lebih dari 248 kasus, sebanyak 132 diantaranya melibatkan follow up yang lebih lama, yaitu sekitar 15 tahun.
Teknik Fachry ini telah dilaporkan di pertemuan Asia Pacific Knee Society di Yokohama tahun 1999 dan beroleh penghargaan dari Japan Orthopedic Association. Hasil ini dilaporkannya pula pada European Society for Sport Surgery of the Knee and Arthroscopy di Paris tahun 1999, di Auckland New Zealand tahun 2003, Ankara Turki tahun 2004, dan Seoul Korea tahun 2006.
Dengan menggunakan cara penilaian baku menurut Hoover, untuk menilai hasil operasi perbaikan meniskus dengan menggunakan Teknik Fachry, hasil yang diperoleh memuaskan dan tidak berada di bawah hasil bila menggunakan alat canggih dengan harga yang lebih mahal. Tingkat risikonya pun minim. "Belum pernah ada laporan mengenai kegagalan akibat teknik ini, kecuali lepasnya benang pada kasus pertama dulu," kata Fachry yang menjadikan penemuannya ini sebagai materi orasi pada pengukuhannya sebagai Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran beberapa waktu lalu.
Oleh karena itu, teknik ini efektif untuk diterapkan oleh dokter-dokter bedah yang berada di negara berkembang. Di Indonesia, teknik ini pun sudah cukup populer. Tak hanya dokter bedah ortopedi yang berada di Bandung yang sudah menerapkan teknik ini, beberapa dokter di kota lain juga banyak yang sudah mempraktikkannya.
Teknik Fachry ini terbilang mudah untuk dilakukan. Kesulitan yang mungkin timbul hanyalah dalam menentukan posisi yang tepat untuk menusukkan jarum. Jangan sampai terjadi posisi tusukan yang terlalu, rendah atau tinggi. Semua harus pas sejajar dengan permukaan meniskus yang robek. Jika terlalu bawah maka akan menekan ke bawah yang akan berakibat pada rasa sakit, sedangkan bila posisi terlalu atas, akan mengganjal. "Kalau salah posisi, bisa terjadi locking," ujar Fachry.
Untuk mahir menentukan posisi tusukan jarum yang tepat diperlukan konsentrasi tinggi saat melakukan operasi. Belum lagi operasi yang dilakukan di dalam air bisa berakibat pada bias yang mungkin muncul. Oleh karena itu, latihan mengenali model-model sendi lutut mutlak diperlukan.
Selain itu, percobaan operasi yang pertama mungkin akan sulit dilakukan, dalam hal membuat laso dan kemudian memasukkan benang pada laso tersebut hingga akhirnya tercipta jahitan pada meniskus yang robek. "Wajar jika percobaan pertama ini bisa memakan waktu hingga 1,5 jam," ujarnya lagi.
Perlu juga diperhatikan posisi robekan meniskus berada. Robekan yang berada pada red zone dan grey zone masih bisa ditangani dengan teknik ini. Sementara robekan yang berada di white zone akan sulit disembuhkan. Robekan yang berada di red zone membutuhkan waktu pemulihan yang pukup singkat, yaitu sekitar 1,5 bulan. Sementara robekan yang berada di grey zone membutuhkan waktu pemulihan yang lebih lama, sekitar 2-3 bulan. Namun di mana pun posisi robekan berada, seusai operasi dan sebelum pasien sadar, dokter harus melihat lagi stabilitas jahitan. Juga menggerakkan sendi lutut dalam passive motion dengan tingkat kemiringan beragam, mulai dari 0-30 derajat.
Hingga kini, keberhasilan operasi menjahit robekan meniskus dengan menggunakan Teknik Fachry mencapai kesuksesan sempurna hingga 100 persen. Namun untuk saat ini, Teknik Fachry baru efektif digunakan untuk menjahit robekan meniskus pada sendi lutut, tidak pada sendi yang lain.
"Secara teori, bisa saja teknik ini diterapkan pada cedera akibat robekan pada sendi bahu. Namun, hal tersebut rawan unfuk dilakukan karena pada bahu terdapat banyak syaraf vital," tutur Fachry. (Riesty Yusnilaningsih)***
kamusarea

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "Tangani Cedera Dengan Efektif"

Posting Komentar